05 Agustus 2009

Laporan Sementara Hasil Penyelidikan KLB Keracunan Pangan di Dusun X Desa Y Kecamatan Z tahun 2009
A. Latar Belakang
Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan adalah suatu kejadian dua orang atau lebih menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi pangan, dan berdasarkan analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai sumber penularan. Penyelidikan KLB keracunan pangan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis terhadap KLB keracunan pangan untuk mengungkap penyebab, sumber dan cara pencemaran serta distribusi KLB menurut variabel orang, tempat dan waktu.(Badan POM RI, 2005)
Keracunan pangan atau istilah lainnya yaitu intoksikasi makanan termasuk dalam penyakit akibat makanan, adalah penyakit yang didapat karena mengkonsumsi makanan yang tercemar.(WHO,2000) Penyakit ini amat beragam gejala klinisnya dan masa inkubasinya, tergantung jenis makanan penyebabnya. Salah satu gejala klinis yang sering timbul berupa diare.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya penyakit diare yaitu kontaminasi kuman pada makanan atau minuman yang tercemar tinja, faktor penjamu (host) dan faktor lingkungan. (Depkes RI, 2007) Gejala diare juga timbul karena kontaminasi makanan oleh senyawa biologis tertentu, atau kadang-kadang juga timbul pada keracunan karena senyawa kimia tertentu.
Kabupaten B salah satu kabupaten yang sering mendapat laporan adanya KLB keracunan pangan di wilayahnya, dengan berbagai variasi jumlah penderita, gejala klinis, jenis pangan penyebab, jenis kuman atau senyawa penyebab. Pada tahun 2009, salah satunya adalah keracunan pangan dengan gejala dominan diare di Desa Y, wilayah kerja Puskesmas A.
Pada hari Senin tanggal 13 Juli jam 11.30 WIB, Puskesmas A mendapat laporan dari masyarakat adanya kasus diare yang dialami 25 orang warga Desa Y. Kemudian investigasi awal dilakukan tim surveilans Puskesmas A, dilanjutkan tim surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten A. Peningkatan kasus diare secara bersamaan dalam satu wilayah yang sama yaitu RT 02 RW 10 Dusun X Desa Y ini diduga berkaitan dengan konsumsi makan selamatan secara bersama-sama.

B. Tujuan
1. Umum
Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran kejadian keracunan pangan yang terjadi di Desa Y wilayah Puskesmas A serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Khusus
a. Memastikan diagnosa keracunan pangan
b. Menetapkan adanya KLB
c. Mengidentifikasi penyebab, sumber dan cara penularan
d. Mengetahui gambaran epidemiologi keracunan pangan menurut variabel, orang, waktu, tempat
e. Mengetahui angka serangan
f. Mengetahui efikasi keracunan pangan
g. Merencanakan strategi untuk penanggulangan dan pengendalian

A. Keadaan Geografi
Puskesmas A merupakan salah satu puskesmas yang ada di wilayah Kecamatan Z, Kabupaten B. Wilayah kerjanya meliputi 4 (empat) desa yaitu Desa Y, Desa Beji, Desa Kampung, dan Desa Jurangjero. Batas wilayah kerja Puskesmas A yaitu batas utara adalah Desa Tancep, Kecamatan Z, batas timur yaitu Desa Bendung, Kecamatan Semin, batas barat yaitu Desa Natah Kecamatan Nglipar, dan batas selatan yaitu Desa Jatiayu Kecamatan Karangmojo. Luas wilayah yaitu 3.498.181 Ha.
Desa Y merupakan salah satu desa di wilayah Puskesmas A, yang terdiri dari 12 dusun, salah satunya bernama Dusun X.
Kondisi geografis secara umum di wilayah kerja Puskesmas A, termasuk Desa Y, memiliki jenis tanah kapur, liat, tanah merah dan batu, dengan topografi tidak rata. Fasilitas transportasi terbatas walaupun sarana jalan cukup baik dengan kondisi aspal.
Jumlah total penduduk empat desa di wilayah Puskesmas A adalah 20.627 jiwa terdiri dari laki-laki 10.222 jiwa dan perempuan 10.405 jiwa, meliputi 5.920 Kepala Keluarga (KK) (Profil Puskesmas A, 2008). Sedangkan jumlah penduduk di Desa Y yaitu 5.402 terdiri dari laki-laki 2.663 jiwa dan perempuan 2.739 jiwa, terbagi dalam 1.581 KK.




B. Kondisi Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas A terdiri dari 1 (satu) puskesmas, 3 (tiga) puskesmas pembantu, 1 (satu) Balai Pengobatan (BP), 1 (satu) dokter praktek, 6 (enam) bidan praktek swasta, dan 49 posyandu (masing-masing dusun memiliki satu posyandu).
Jumlah petugas kesehatan adalah 27 orang meliputi 2 (dua) orang dokter umum, 6 (enam) bidan, 3 (tiga) perawat, 8 (delapan) dukun bayi terlatih, dan 1 (satu) dokter gigi. Di Desa Y terdapat 2 (dua) bidan, 1 (satu) perawat, dan 2 (dua) dukun bayi terlatih. Rasio petugas kesehatan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan di wilayah Puskesmas A yaitu : dokter umum 4,2/100.000; dokter gigi 4,2/100.000; dan paramedis 37,9/100.000.
Keadaan status gizi baik secara keseluruhan mengalami penurunan dari tahun 2006 hingga tahun 2007, dan sebaliknya status gizi buruk mengalami peningkatan.(Tabel 1)
Tabel 1. Status Gizi Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas A Kabupaten B Tahun 2006-2007
Status Gizi 2006 (%) 2007 (%)
Buruk 1,8 2,5
Kurang 8,9 10,6
Baik 87,6 86,4
Lebih 1,7 1,2
Sumber : Profil Puskesmas A Tahun 2008
Kondisi sanitasi lingkungan di wilayah kerja Puskesmas A dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2. Cakupan Sanitasi Puskesmas A
Kabupaten B Tahun 2008
Sanitasi Cakupan (%)
Rumah Sehat 65,1
Jamban 69,3
Air Bersih 51,0
Sarana Pembuangan Air Limbah
(SPAL) Sehat 20,4
Sumber : Profil Puskesmas A Tahun 2008
Jumlah KK yang memiliki jamban sebanyak 3215 terdiri dari leher angsa 585 (18,19%) dan cemplung 2630 (81,80%). Jumlah KK yang tidak memiliki jamban mencapai 45,69%.
C. Telaah Pustaka
1. Batasan
Keracunan pangan atau istilah lainnya yaitu intoksikasi makanan termasuk dalam penyakit akibat makanan, adalah penyakit yang didapat karena mengkonsumsi makanan yang tercemar.(WHO,2000)
2. Penyebab
Keracunan pangan dapat disebabkan oleh jamur atau toksin jamur, senyawa kimia, bakteri, toksin bakteri, toksin tanaman, toksin hewan ataupun senyawa bakteri atau hewan. (Badan POM RI, 2005)
Penyakit akibat makanan lebih sering disebabkan oleh :
a. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri yang berkembang biak dalam makanan sebelum dikonsumsi (Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus), atau peningkatan kadar histamine bukan toksin yang spesifik, dan dapat pula toksin yang terbentuk dalam usus seperti Clostridium perfringens)
b. Infeksi bakteri, virus atau parasit (brucellosis, Campylobacter enteritis, diare yang disebabkan oleh Escherichia coli, hepatitis A, listeriosis, salmonellosis, shigellosis, toksoplasmosis, gastroenteritis oleh virus, taenisasis, trichinosis, dan vibrio)
c. Toksin yang dihasilkan oleh spesies algae yang berbahaya (keracunan ikan ciguatera, keracunan kerang yang mengakibatkan paralitik, keracunan kerang yang menyebabkan neurotoksik, keracunan kerang yang menyebabkan diare dan amnesia) atau racun yang ada pada spesies ikan tertentu seperti pada ikan buntal).
(WHO, 2000)

3. Perjalanan Alamiah dan Patofisiologi
KLB penyakit akibat makanan diidentifikasi dengan munculnya sejumlah penderita yang biasanya terjadi dalam waktu pendek dengan periode waktu yang sangat bervariasi (beberapa jam sampai beberapa minggu) setelah mengkonsumsi makanan bersam-sama. Kasus tunggal penyakit akibat makanan sulit diidentifikasi (kecuali pada kasus botulisme, karena adanya sindrom gejala klinis yang khas). Penyakit akibat makanan merupakan salah satu penyebab kesakitan akut yang paling sering ditemukan, banyak kasus dan KLB yang tidak diketahui dan tidak dilaporkan.(WHO, 2000)
Keracunan pangan akibat mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi senyawa kimia, umumnya memiliki masa inkubasi yang cepat hanya dalam beberapa menit, diikuti oleh keracunan akibat jamur, kemudian toksin, dan yang masa inkubasi hingga satuan minggu keracunan akibat terkontaminasi bakteri (Badan POM RI, 2005)
Gejala dan tanda-tanda yang muncul pertama atau dominan akan dapat menunjukkan penyebab keracunan, atau membantu dalam mencari penyebabnya. Gejala dominan atau pertama kali muncul pada saluran pencernaan atas (mual/muntah) dengan waktu inkubasi biasanya kurang dari satu jam kemungkinan terbesar menunjukkan keracunan akibat toksin fungi dan senyawa kimia, sedangkan jika masa inkubasi antara satu sampai 6 jam mungkin diakibatkan toksin bakteri, masa inkubasi lebih dari 12 jam kemungkinan disebabkan oleh bakteri. Jika gejala dominan pada saluran pencernaan bawah yang ditandai dengan kejang perut dan atau diare dengan masa inkubasi 7 jam hingga beberapa hari, umumnya disebabkan oleh bakteri atau toksin bakteri. Keracunan senyawa kimia akan menunjukkan gejala khas berupa gangguan syaraf, seperti pusing, lemah, berkeringat, sianosis, gangguan penglihatan, gatal, lumpuh, rasa terbakar, nyeri otot, mati rasa. Gejala dominan tanda-tanda infeksi umum seperti demam, menggigil, lemah, dan atau nyeri dengan masa inkubasi lebih dari 72 jam bisa juga disebabkan oleh bakteri atau virus (seperti hepatitis). Tanda-tanda alergi seperti merah pada wajah dan atau gatal bisa disebabkan karena senyawa bakteri, hewan beracun, atau senyawa kimia. (Badan POM RI, 2005)
4. Epidemiologi Keracunan pangan
Keracunan pangan merupakan penyakit yang dapat menyerang siapa pun, terutama akan menimbulkan kesakitan yang lebih besar dan lama pada orang-orang yang status kekebalan tubuhnya rendah dan atau status gizi kurang baik.
Keracunan pangan sering dikaitkan dengan pengelolaan atau penyimpanan makanan yang tidak atau kurang higienis. Faktor perilaku merupakan hal yang berperan penting dalam berbagai kasus. Selain itu, factor lingkungan dengan kondisi sanitasi yang tidak memadai atau kurang memenuhi syarat kesehatan juga berpengaruh dengan berbagai kejadian keracunan pangan.

D. Hipotesis
1. Telah terjadi KLB keracunan pangan di Desa Y dengan gejala seperti penyakit keracunan pangan: diare, mual, muntah, yang terjadi pada bulan Juli 2009.
2. Penyebaran dan penularan penyakit keracunan pangan di desa Y disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi.
3. Terkontaminasinya makanan berhubungan dengan faktor perilaku pengelola makanan dan faktor lingkungan karena sanitasi yang kurang sehat.

A. Batas Wilayah Pelacakan
Penyidikan dilakukan di Dusun X, Desa Y, Kecamatan Z, Kabupaten B.
B. Penetapan diagnosis kasus
1. Menyusun distribusi frekuensi gejala klinisnya
Cara menghitung distribusi frekuensi :
a. Membuat daftar gejala
b. Menghitung persen kasus yang mempunyai gejala
c. Menyusun ke bawah sesuai frekuensinya
2. Mencocokkan gejala / tanda penyakit yang terjadi pada individu dengan gejala yang ada di teori atau buku (Communicable disieses manual dan buku Mekanisme dan Prosedur Tetap Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Indonesia)
Tabel 1. Perbandingan Variabel pada Teori dan pada Kasus KLB Keracunan Pangan di Dusun X Desa Y Kecamatan Z
Kabupaten B tahun 2009
Variabel Dasar teori Kasus
jamur (toksin fungi) seny. kimia bakteri toksin bakteri toksin tnman toksin hewan

virus

Gejala Diare √ √ √ √ √ √
Diare berair/cair √ √
Diare berdarah √
Diare berlendir √
Diare seperti air tajin √
Diare berbau khas √
Mual √ √ √ √ √ √
muntah √ √ √ √ √ √
Sakit perut √ √ √
kejang perut √ √ √ √
pusing √ √ √ √
demam √ √
menggigil √ √ √
berkeringat √
nyeri tenggorokan √
gangguan penglihatan
Gatal √ √
merah, gatal pada wajah
nyeri otot √
Masa inkubasi beberapa menit √
15 - 30 menit √
bbrp menit - 1 jam √ √ √ √
30 menit - 1 jam √
bbrp menit - 2 jam √
15 menit - 2 jam √
30 menit - 2 jam √
Variabel Dasar teori Kasus
jamur (toksin fungi) seny. kimia bakteri toksin bakteri toksin tnman toksin hewan virus

Masa Inkubasi 30 menit - 5 jam √ √ √
2 - 4 jam √ √
1 - 3 hari √
Lebih dari 72 jam (3 hari) √
16-48 jam √
3 – 5 hari √
10-50 hari √
Jenis makan- an
makanan berjamur √
jamur
mknan/minum asam tinggi √
susu, soda kue √ √ √
nasi masak atau goreng √
produk daging dan unggas √ √
makanan berprotein tinggi √
sayuran √ √
sayuran mentah √ √
sayuran matang
kerang-kerangan √ √ √
minuman botol √
telur, mknan mengandung telur √
produk serealia √
saus, bakso, sup √
udang √
buah-buahan mentah √
ikan √ √
makanan kaleng √ √
makanan mengandung MSG √

C. Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan berasal dari data puskesmas dilengkapi data terkait dari dinas kesehatan serta data hasil laboratorium untuk pemastian diagnosa.
Data sekunder yang dibutuhkan dalam penyelidikan KLB Keracunan Pangan ini meliputi :
1. Data puskesmas berupa laporan investigasi KLB, data monografi wilayah kerja puskesmas, cakupan imunisasi, cakupan pelayanan kesehatan, dan cakupan sanitasi.
2. Data dinas kesehatan berupa laporan investigasi KLB
3. Data laboratorium berupa hasil pemeriksaan sampel
4. Data penunjang lainnya berupa data monografi, geografi dan demografi

D. Pengumpulan Data Primer
Data primer dikumpulkan melalui pelacakan penderita dan pencarian kasus tambahan, menggunakan kuesioner terstruktur.

E. Penelitian Kasus Kontrol
Untuk membantu menentukan sumber dan cara penularan dilakukan studi kasus control, dengan batasan sebagai berikut :
A. Batasan kasus
Yang dimaksud kasus adalah penderita keracunan dengan gejala diare, mual/muntah, sakit perut disertai gejala tambahan lain di dalam batas wilayah pelacakan dalam periode mulai tanggal 11 Juli 2009 hingga tidak ada kasus serupa lagi di wilayah pelacakan yaitu Dusun X Desa Y Kecamatan Z Kabupaten B.



B. Batasan kontrol
Yang dimaksud kontrol adalah warga dalam batas wilayah pelacakan yang tidak mengalami gejala diare, mual/muntah, sakit perut disertai gejala tambahan lain dam periode mulai tanggal 11 Juli 2009 hingga tidak ada kasus serupa lagi di wilayah pelacakan yaitu Dusun X Desa Y Kecamatan Z Kabupaten B.

C. Cara pengambilan sampel atau kontrol
Pengambilan sampel dilakukan dengan observasi dan wawancara terhadap kasus dan kontrol di batas wilayah pelacakan yaitu Dusun X Desa Y Kecamatan Z Kabupaten B.

D. Variabel-variabel penelitian
Variabel dependen adalah status penderita (sakit dan tidak sakit)
Variabel independen terdiri dari : status terpapar (mengkonsumsi/tidak makanan terkontaminasi), sanitasi lingkungan tempat tinggal (memenuhi syarat/tidak)

F. Cara Analisa Data
Data yang sudah dikumpulkan dianalisa secara deskriptif meliputi distribusi frekuensi penderita berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, status terpapar, status sanitasi.
Analisa dilanjutkan dengan menghitung Attack Rate (Angka serangan) jenis makanan yang terkontaminasi




G. Definisi Operasional
Definisi operasional dari penyelidikan KLB keracunan pangan di wilayah Puskesmas A adalah :
1.Status penderita terdiri dari sakit dan tidak sakit.
a.Sakit adalah warga Dusun X Desa Y Kecamatan Z yang mengalami gejala diare, mual/muntah, sakit perut disertai gejala tambahan lain pada periode bulan mulai tanggal 11 Juli 2009 hingga tidak ada kasus serupa lagi di wilayah pelacakan, yaitu Dusun X Desa Y Kecamatan Z.
b.Tidak sakit adalah warga Dusun X Desa Y Kecamatan Z yang tidak mengalami gejala diare, mual/muntah, sakit perut disertai gejala tambahan lain pada periode bulan mulai tanggal 11 Juli 2009 hingga tidak ada kasus serupa lagi di wilayah pelacakan, yaitu Dusun X Desa Y Kecamatan Z.
2.Status terpapar terdiri dari terpapar dan tidak terpapar
a.Terpapar adalah warga Dusun X Desa Y Kecamatan Z yang mengkonsumsi makanan terkontaminasi atau dicurigai terkontaminasi pada periode bulan mulai tanggal 11 Juli 2009 hingga tidak ada kasus serupa lagi di wilayah pelacakan, yaitu Dusun X Desa Y Kecamatan Z.
b.Tidak terpapar adalah warga Dusun X Desa Y Kecamatan Z yang tidak mengkonsumsi makanan terkontaminasi atau dicurigai terkontaminasi pada periode bulan mulai tanggal 11 Juli 2009 hingga tidak ada kasus serupa lagi di wilayah pelacakan, yaitu Dusun X Desa Y Kecamatan Z

2.Status sanitasi terdiri dari baik dan tidak
a.Baik adalah jika letak sumur yang dikonsumsi atau digunakan untuk mencuci bahan makanan > 10 meter dari septic tank, kondisi dinding sumur diplester atau diberi buis beton, letak sumur tersebut tidak berdekatan dengan buangan air limbah keluarga/tetangga, kondisi saluran pembuangan air limbah buangan baik dan tertutup (air tidak dibiarkan mengalir terbuka atau langsung meresap dalam tanah dekat sumur)
b.Kurang baik adalah jika letak sumur yang dikonsumsi atau digunakan untuk mencuci bahan makanan < 10 meter dari septic tank, dan atau kondisi dinding sumur tidak diplester atau tidak diberi buis beton, dan atau letak sumur tersebut berdekatan dengan buangan air limbah keluarga/tetangga, kondisi saluran pembuangan air limbah buangan tidak baik dan air dibiarkan mengalir terbuka atau langsung meresap dalam tanah dekat sumur.


















BAB IV
HASIL PENYELIDIKAN

A. Penetapan diagnosis kasus
1. Menyusun distribusi frekuensi gejala klinisnya
Tabel 2 Distribusi Gejala Klinis KLB Keracunan Pangan di Dusun X
Desa Y Kecamatan Z Kabupaten B
tahun 2009
No Gejala Klinis Jumlah kasus Frekwensi
1 Demam 34 100%
2 Nyeri/mulas 31 91,18%
3 Mual 30 88,24%
4 Diare 26 76,47%
5 Diare berbau khas 23 67,65%
6 Menggigil 21 61,76%
7 Muntah 20 58,82%
8 Diare berair 15 44,12%
9 Pusing 12 35,29%
10 Sakit kepala 2 5,88%
11 Berkeringat 1 2,94%

2. Mencocokkan gejala / tanda penyakit yang terjadi pada individu dengan gejala yang ada di teori atau buku (Communicable disieses manual dan buku Mekanisme dan Prosedur Tetap Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Indonesia)








Tabel 3. Perbandingan Variabel pada Teori dan pada Kasus KLB Keracunan Pangan di Dusun Dungmas, Desa Y, Kecamatan Z Kabupaten B tahun 2009
Variabel Dasar teori Kasus
jamur (toksin fungi) seny. kimia bakteri toksin bakteri toksin tnman toksin hewan

virus

Gejala Diare √ √ √ √ √ √ √
Diare berair/cair √ √ √
Diare berdarah √
Diare berlendir √
Diare seperti air tajin √
Diare berbau khas √ √
Mual √ √ √ √ √ √ √
Muntah √ √ √ √ √ √ √
Sakit perut/nyeri/mulas √ √ √ √
Kejang perut √ √ √ √
Pusing √ √ √ √ √
Demam √ √ √
Menggigil √ √ √ √
Berkeringat √ √
Nyeri tenggorokan √
Gangguan penglihatan
Gatal √ √
Merah, gatal pada wajah
Nyeri otot √
Masa inkubasi beberapa menit √
15 - 30 menit √
bbrp menit - 1 jam √ √ √ √
30 menit - 1 jam √
bbrp menit - 2 jam √
15 menit - 2 jam √
30 menit - 2 jam √
30 menit - 5 jam √ √ √
Variabel Dasar teori Kasus
jamur (toksin fungi) seny. kimia bakteri toksin bakteri toksin tnman toksin hewan virus
Masa Inkubasi 2 - 4 jam √ √
1 - 3 hari √
10 – 12 jam √ √
10 – 18 jam √ √
20 – 48 jam √ √
Lebih dari 72 jam (3 hari) √
16-48 jam √
3 – 5 hari √
10-50 hari √
Jenis makan- an
makanan berjamur √
jamur
mknan/minum asam tinggi √
susu, soda kue √ √ √
nasi masak atau goreng √
produk daging dan unggas √ √
makanan berprotein tinggi √
sayuran √ √ √
sayuran mentah √ √ √
sayuran matang √
kerang-kerangan √ √ √
minuman botol √
telur, mknan mengandung telur √ √
produk serealia √ √
saus, bakso, sup √
udang √
buah-buahan mentah √
ikan √ √
makanan kaleng √ √
makanan mengandung MSG √
Berdasarkan tabel di atas, dengan melihat gejala dominan yang dikombinasikan dengan masa inkubasi yaitu 3 jam sampai dengan 24 jam atau satu hari, maka diagnosis sementara keracunan pangan di Dusun X, Desa Y, Kecamatan Z Kabupaten B tahun 2009 disebabkan oleh bakteri. Dugaan sementara jenis bakteri penyebab keracunan ini, dengan memperhatikan gejala dominan dan masa inkubasi tersebut diperoleh setelah mencocokkan daftar gejala, masa inkubasi dan jenis makanan yang dicurigai sebagai berikut.























Tabel 4. Perbandingan Variabel pada Teori dan pada Kasus KLB
Keracunan Pangan yang Disebabkan oleh Bakteri
di Dusun X Desa Y Kecamatan Z
Kabupaten B tahun 2009
Variabel Dasar teori Ka-sus
Sta-phylococ-cus C.
perfringens Ba-cillus cereus E. coli V. cholerae V. cholera non O1 V. para-haemo-lytic enteritis
Salmonella Shigella
Gejala Diare √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Diare seperti air tajin √
Mual √ √ √ √ √ √ √
Muntah √ √ √ √ √ √ √ √
Kejang perut √ √ √ √ √ √
Sakit perut/nyeri/mulas

√ √
Demam √ √ √ √ √
Sakit kepala
√ √
Suhu tubuh di bwh normal √
Masa inkubasi 1 – 6 jam √
2 – 4 jam √ √
9 – 12 jam √
10 – 24 jam √ √ √ √
12 – 36 jam

5 – 48 jam √ √
4 – 30 jam √
1 – 3 hari √
Beberapa jam – 5 hari √
3 – 4 hari √
Variabel Dasar teori Ka-sus
Sta-phylococ-cus C.
perfringens Ba-cillus cereus E. coli V. cholerae V. cholera non O1 V. para-haemo-lytic enteritis
Salmonella Shigella
Jenis makan- an
Makanan terkontaminasi √ √
Makanan mentah, olahan, matang yg terkontaminasi tinja √ √ √ √ √
Sayur buah √ √
Sayur buah dicuci air limbah √ √
Ikan mentah √
Telur √ √

Berdasarkan table tersebut maka diambil kesimpulan sementara bakteri yang diduga sebagai penyebab keracunan pangan di Dusun X Desa Y Kecamatan Z yaitu Escherichia Coli, dengan differential diagnose yaitu Salmonella, Staphylococcus, Clostridium perfringens, Bacillus cereus.

B. Penetapan KLB
Kejadian di desa Dusun X, Desa Y, Kecamatan Z Kabupaten B tersebut merupakan Kejadian Luar Biasa keracunan pangan, hal ini sesuai dengan :
1. Salah satu petunjuk penetapan KLB yaitu apabila kesakitan/kematian oleh keracunan yang timbul di suatu kelompok masyarakat.
2. Definisi KLB keracunan pangan atau intoksikasi makanan yaitu terjadinya peristiwa kesakitan/kematian dimana dua orang atau lebih mengalami gejala – gejala yang sama atau hampir sama dan biasanya ada hubungan faktor waktu, tempat dan orang diantara penderita-penderita tersebut.
Jumlah kasus 34 orang dengan gejala dominan yang sama yaitu demam, nyeri/mulas, mual, diare dan muntah. Penderita menyantap makanan yang sama yaitu makanan selamatan yang dibagikan kepada masyarakat di wilayah Dusun X Desa Y pada tanggal 21 Juni 2009. Jadi dapat ditetapkan sebagai KLB keracunan pangan.

C. Deskripsi KLB
1. Daftar kasus








Gambar 1. Jumlah Kasus yang Dilaporkan per Hari pada Kasus KLB
Keracunan Pangan di Dusun X Desa Y
Kecamatan Z Kabupaten B tahun 2009

Pada hari Jumat, tanggal 10 Juli 2009, beberapa jam setelah mengkonsumsi makanan selamatan, satu orang warga mengalami gejala keracunan, diikuti berturut-turut warga dalam satu wilayah yang sama dengan gejala serupa, hingga tercatat ada 33 kasus pada hari Sabtu, 11 Juli 2009.



2. Deskripsi kasus menurut variabel tempat, orang, dan waktu
a. Distribusi kasus menurut tempat
Tabel 5. Distribusi Kasus Menurut Tempat pada KLB Keracunan Pangan di Dusun X Desa Y Kecamatan Z Tahun 2009
Alamat Jumlah Kasus %
RW 10 Rt 1 2 5,90
RW 10 Rt 2 32 94,10
Jumlah Seluruh Kasus 34 100

34 kasus beralamat di wilayah RW yang sama yaitu RW 10. Hampir semua kasus beralamat di Rt 2, dan hanya 2 orang yang beralamat di Rt 1. 2 orang tersebut pada saat kejadian kemungkinan sedang bertamu ke rumah saudara atau keluarganya di Rt 2.

b. Distribusi kasus menurut orang
Tabel 6. Distribusi Kasus Menurut Jenis Kelamin pada KLB
Keracunan Pangan di Dusun X Desa Y
Kecamatan Z Tahun 2009
Jenis Kelamin Jumlah Kasus %
Laki-laki 16 47,10
Perempuan 18 52,90
Jumlah Kasus Keseluruhan
34
100
Dari seluruh kasus, penderita perempuan lebih banyak daripada laki-laki, walaupun selisihnya tidak terlalu banyak.
Tabel 7. Distribusi Kasus Menurut Umur pada KLB
Keracunan Pangan di Dusun X Desa Y
Kecamatan Z Tahun 2009
Kelompok Umur Jumlah Kasus %
5 – 12 tahun 6 17,60
13 – 18 tahun 3 8,80
19 – 25 tahun 1 2,90
31 – 45 tahun 11 32,40
46 – 50 tahun 2 5,90
> 50 tahun 11 32,40
Jumlah Seluruh Kasus 34 100
Kasus yang termuda yaitu 5 tahun dan tertua berumur 72 tahun, dengan rata-rata umur kasus yaitu 40,18 tahun. Umur tersebut merupakan umur produktif.
Tabel 8. Distribusi Kasus Menurut Pekerjaan pada KLB
Keracunan Pangan di Dusun X Desa Y
Kecamatan Z Tahun 2009
Jenis Pekerjaan Jumlah Kasus %
Kepala dusun 1 2,90
Petani 19 55,90
Tukang batu 1 2,90
Tukang kayu 1 2,90
Pelajar 7 20,60
Tidak bekerja 5 14,70
Jumlah Seluruh Kasus 34 100

Sebagian besar kasus bekerja sebagai petani. Sebagian lagi adalah pelajar, karena sebagian kasus tersebut adalah usia sekolah. Sedangkan kasus yang tidak bekerja adalah ibu rumah tangga dan lanjut usia.

c. Distribusi kasus menurut waktu
Telah ditampilkan dalam gambar 1, bahwa hampir seluruh kasus terjadi pada hari Sabtu, tanggal 11 Juli 2009.










3. Lama pemaparan
Gambar 2. Kurva Epidemi pada KLB Keracunan Pangan di Dusun X Desa Y Kecamatan Z Tahun 2009

Kurva epidemik yang dihubungkan denga masa inkubasi bakteri yang diduga menjadi penyebab yaitu E. Coli, menunjukkan bahwa perkiraan terjadi waktu pertama paparan dengan penyebab keracunan antara pukul 14 hingga pukul 16 tanggal 10 Juli 2009. Sedangkan tipe kurva yang ditunjukkan gambar tersebut adalah common source, artinya ada satu sumber penularan.

4. Populasi risiko tinggi
Populasi yang mempunyai risiko mengalami gejala tersebut adalah warga Rt 02 RW 10 Dusun X Desa Y Kecamatan Z.






D. Identifikasi Sumber dan Cara Penularan
1. Hasil penelitian kasus kontrol
Jumlah kasus adalah 34 dan jumlah kontrol adalah 37.
Attack Rate (AR) : jumlah kasus pada periode KLB dibagi jumlah yang mengkonsumsi dikalikan 100
Tabel 9. Attack Rate Jenis Makanan yang Dikonsumsi pada KLB
Keracunan Pangan di Dusun X Desa Y
Kecamatan Z Tahun 2009
No Faktor risiko Jumlah yg Mengkonsumsi AR
(%)
1 Nasi 36 94,44
2 Gudangan 34 100
3 Bumbu gudangan 36 94,44
4 Telur 34 100

Berdasarkan hasil perhitungan dalam tabel di atas, diketahui bahwa AR atau Angka Serangan keempat makanan yang berasal dari acara selamatan yang dikonsumsi bersama-sama tersebut cukup tinggi. Tetapi dari keempat jenis makanan tersebut yang tertinggi adalah gudangan dan telur. Gudangan adalah makanan matang dengan bahan utama terbuat dari sayuran yang direbus atau dikukus dan biasanya diberi bumbu ampas kelapa.
Perhitungan besar risiko dari masing-masing faktor risiko yang berupa jenis makanan yang dikonsumsi dan status sanitasi dirangkum dalam tabel berikut ini.
Odds Ratio (OR) = ad/bc
Keterangan :
Jumlah yang mengkonsumsi pada kelompok kasus (a)
Jumlah yang tidak mengkonsumsi pada kelompok kasus (b)
Jumlah yang mengkonsumsi pada kelompok kontrol (c)
Jumlah yang tidak mengkonsumsi pada kelompok kontrol (d)


Tabel 9. Rangkuman Hasil Penelitian Faktor Risiko Keracunan Pangan di Dusun X Desa Y Kecamatan Z Tahun 2009
No Faktor Risiko OR CI 95%
1 Nasi * 0,014-0,214
2 Gudangan 280 37,228-2105,959
3 Bumbu gudangan * 0,014-0,214
4 Telur 280 37,228-2105,959
5 Sanitasi (yang kurang baik) ** 0,748-6,741

Dari hasil perhitungan tersebut, faktor yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian keracunan (dilihat dari angka CI yang tidak melewati angka 1), yaitu faktor risiko mengkonsumsi jenis makanan nasi, gudangan, bumbu gudangan, dan telur. Semua jenis makanan yang dihidangkan memiliki risiko terhadap kejadian keracunan tersebut. Akan tetapi untuk nasi dan bumbu gudangan, angka OR sangat besar sampai tak terhingga, sehingga yang dapat diketahui OR – nya hanyalah jenis makanan gudangan dan telur. Dan kedua makanan tersebut sama – sama memiliki OR yang memang sangat besar mencapai 280. Artinya risiko menderita gejala keracunan pada orang yang mengkonsumsi gudangan dan telur dari selamatan tersebut, masing-masing adalah 280 kali dibanding yang tidak mengkonsumsi.
Status sanitasi pada masing-masing tempat tinggal warga baik yang menderita gejala keracunan maupun tidak, tidak berhubungan secara bermakna dengan kejadian keracunan tersebut.

2. Sumber dan cara penularan
Berdasarkan hasil investigasi, diketahui bahwa makanan selamatan yang diduga menjadi sumber penularan keracunan pangan tersebut dibuat dan dibagikan oleh warga yang juga bertempat tinggal di wilayah Rt 2 RW 10 Dusun X Desa Y Kecamatan Z. Makanan tersebut dibagikan kepada tetangga-tetangganya di wilayah Rt 2 RW 10 Dusun X dalam rangka syukuran karena sapi peliharaannya melahirkan. Makanan dibagikan pada hari Jumat tanggal 10 Juli 2009 sore hari. Untuk melengkapi data hasil investigasi tersebut, tim investigasi melanjutkan investigasi terhadap pembuat dan pengelola makanan selamatan tersebut. Dari wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa pengelolaan makanan atau bahan makanan tersebut memang berisiko terhadap terjadinya keracunan. Sayuran yang merupakan bahan utama gudangan diduga kuat adalah sumber penularan utama. Sayuran tersebut memang telah dikukus dengan baik hingga matang, tentunya kemungkinan besar bakteri telah mati. Akan tetapi kemudian sayuran tersebut direndam kembali dalam air mentah yang berasal dari sumur dengan menggunakan ember, dengan tujuan agar sayuran dingin sehingga mudah untuk dikemas. Sumur yang digunakan tersebut digunakan bersama oleh warga di sekitar tempat tinggal pembuat atau pengelola makanan tersebut. Sumur berdekatan dengan kamar mandi dan jamban, walaupun secara fisik, kondisi sumur telah memenuhi syarat kesehatan sehingga kemungkinan terkontaminasi bakteri dapat dihindari. Dindingnya dilapisi beton, dan jaraknya dengan septic tank mencapai lebih dari 10 meter. Sumur tersebut juga berada jauh dari kandang. Adapun rumah tempat tinggal pengelola makanan memang sangat berdekatan dengan kandang, dengan kondisi yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Sampel air sumur telah diambil dan diperiksa. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diketahui bahwa jumlah bakteri E. coli sangat tinggi mencapai 2.400 MPN/ml.


BAB V
PEMBAHASAN

Sesuai dengan data dan hasil penyelidikan, hipotesis yang menyatakan bahwa telah terjadi KLB keracunan pangan di Desa Y dengan gejala seperti penyakit keracunan pangan: diare, mual, muntah, yang terjadi pada bulan Juli 2009, dapat diterima.
Berdasarkan data hasil penyelidikan terhadap kasus dilihat dari distribusi frekuensi gejala dan masa inkubasi, dapat diketahui bahwa dugaan kuat penyebab keracunan pangan di Dusun X Desa Y tersebut adalah bakteri yaitu E. coli dengan kemungkinan kedua adalah Salmonella. Jenis E. coli sangat banyak. Strain E. coli penyebab diare terdiri dari enam kategori utama yaitu enterohemorrhagic, enterotoxigenic, enteroinvasive, enteropathogenic, enteroaggregative dan diffuse adherent. Setiap kategori tersebut mempunyai perbedaan pathogenesis, virulensi, dan terdiri dari serotype O:H yang terpisah, serta perbedaan gejala klinis dan gambaran epidemiologis.(WHO, 2000). Dengan melihat distribusi frekuensi gejala yang timbul pada kejadian keracunan pangan di Dusun X ini, diperkirakan jenis bakteri E. coli yang menyebabkannya bukan kategori enterohemoragika. Karena strain ini jarang menimbulkan demam pada kebanyakan pasien. (WHO, 2000)
Dengan melihat masa inkubasi kasus yaitu antara 3 hingga 24 jam, E. coli memiliki masa inkubasi terdekat yaitu 5–48 jam dengan rata-rata yaitu 10-24 jam.(Badan POM, 2005) Sedangkan Salmonella memiliki masa inkubasi yang sedikit lebih lama yaitu 6-72 jam.(WHO,2000)
Berdasarkan perhitungan AR dan OR, dilengkapi dengan hasil investigasi pelengkap terhadap cara pengelolaan makanan serta hasil pemeriksaan sampel air yang digunakan dalam pengelolaan makanan tersebut, dugaan kuat sumber penularan kejadian keracunan ini adalah makanan selamatan terutama yang berupa gudangan. Status sanitasi perorangan tidak berhubungan secara bermakna dengan kejadian keracunan ini. Hampir semua kasus maupun kontrol memiliki kondisi yang serupa, rata-rata kurang baik, walaupun secara fisik kondisi sumur sudah baik, dinding sumur rapat dan sudah berupa beton, akan tetapi masih banyak kondisi sumur yang memang jaraknya kurang dari 10 meter dari septic tank atau letaknya berdekatan dengan kandang atau pembuangan air limbah. Kondisi saluran pembuangan air limbah baik dari kamar mandi maupun dari limbah rumah tangga, sebagian besar belum memenuhi syarat. Bentuknya masih terbuka, air limbah dibiarkan mengalir begitu saja, dan kemungkinan dapat meresap kembali ke dalam tanah dan mengkontaminasi air sumur.
Perilaku pengelola makanan selamatan tersebut berisiko terhadap kejadian keracunan pangan. Merendam kembali sayuran yang telah dimasak dengan baik ke dalam air mentah memungkinkan kontaminasi kembali dengan bakteri. Kondisi musim yang sedang jarang turun hujan kemungkinan menyebabkan meningkatnya konsentrasi bakteri dalam air. Meningkatnya jumlah bakteri dalam air yang volumenya lebih sedikit dari biasanya, dapat pula meningkatkan risiko terjadinya penyakit.
Dengan memperhatikan data dan hasil penyelidikan tersebut, maka hipotesis kedua yang menyatakan bahwa penyebaran dan penularan penyakit keracunan pangan di desa Y disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi, juga dapat diterima. Demikian pula denga hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa terkontaminasinya makanan berhubungan dengan faktor perilaku pengelola makanan. Akan tetapi hipotesis yang menyatakan bahwa terkontaminasinya makanan berhubungan dengan faktor lingkungan karena sanitasi yang kurang sehat, dalam hal ini sanitasi masing-masing warga, tidak dapat diterima, sesuai dengan hasil perhitungan bahwa status sanitasi masing-masing warga tidak berhubungan secara bermakna dengan kejadian keracunan pangan. Hipotesis ketiga tersebut dapat diterima jika sanitasi berkaitan dengan pengelola makanan yang menjadi sumber penularan.
Kondisi dan waktu yang tepat dan saling mendukung satu sama lain akhirnya dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit di masyarakat. Untuk itu, berbagai upaya mengurangi risiko kejadian perlu terus dilakukan antara lain, mengubah perilaku pengelolaan makanan agar dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit, mengubah perilaku seharai-hari yang berhubungan dengan makanan dan kebiasaan mandi cuci kakus, misalnya selalu mencuci tangan dengan sabun saat akan menyentuh makan, atau saat akan makan, atau saat akan mengelola makanan. Mengelola makanan yang akan dibagikan atau dikonsumsi oleh orang banyak hendaknya dengan selalu memperhatikan kebersihan dan kesehatan. Makanan harus benar-benar dalam keadaan sudah matang dengan baik, dan tidak terkontaminasi lagi dengan tempat makan yang kotor atau tangan yang terkontaminasi bakteri, atau bahkan seperti pada kejadian keracunan ini yaitu direndam kembali ke dalam air mentah. Peningkatan pengetahuan kesehatan yang berkaitan dengan makanan atau pengelolaan makanan memang sangat diperlukan, agar dapat mengurangi risiko terjadinya keracunan pangan.
Upaya pencegahan dan penanggulangan keracunan pangan tanpa melihat penyebab secara spesifik pada dasarnya sama yaitu menghindari mengkonsumsi makanan yang tercemar, memusnahkan atau melakukan denaturasi terhadap bahan pencemar, mencegah penyebaran yang lebih luas atau mencegah berkembangbiaknya bahan pencemar.(WHO, 2000)
Sepuluh pedoman untuk penyiapan makanan yang aman menurut WHO adalah :
1. Pilihlah makanan yang sudah diproses sesuai dengan standard keamanannya
2. Masaklah makanan secara sempurna atau matang
3. Makanlah makanan yang telah dimasak sesegera mungkin
4. Simpanlah makanan yang telah dimasak secara hati-hati
5. Panaskan kembali makanan yang telah dimasak denga sempurna apabila mau dihidangkan lagi
6. Hindari pencampuran antara bahan makanan mentah dan makanan yang matang pada tempat yang sama
7. Cucilah tangan berulang-kali setiap akan menjamah atau sehabis menjamah makanan atau bahan makanan
8. Jagalah kebersihan seluruh bagian dapur
9. Lindungi makanan dari serangga, tikus dan binatang lainnya
10. Gunakan air bersih yang aman untuk mengolah makanan
Langkah – langkah yang sudah baik dilakukan Puskesmas A dalam penanggulangan KLB keracunan pangan ini yaitu :
1. Menerima informasi keracunan makanan dari masyarakat bertempat tinggal di wilayah Dusun X.
2. Menyampaikan laporan kejadian keracunan makanan ke Dinas Kesehatan B dalam waktu 24 jam setelah menerima laporan dari masyarakat.
3. Melakukan penyelidikan awal keracunan makanan dan menemukan 27 orang penderita dan mengidentifikasi gejala keracunan makananan pada kasus/penderita yang ditemukan.
4. Mengidentifikasi waktu paparan kejadian dan timbulnya gejala. Kejadian paparan berasal dari makanan selamatan pada tanggal 10 Juli 2009. Gejala muncul mulai 10 Juli 2009, pertama kali adalah 3 jam setelah makan dan ditemukan timbulnya gejala berturut-turut pada jam-jam berikutnya hingga tanggal 11 Juli 2009.
5. Melakukan penyuluhan mengenai pengelolaan makanan yang baik, bersih dan sehat.
6. Pemberian kaporit ke dalam air sumur warga di wilayah terjadinya KLB
Kelemahan dalam penanganan dan penanggulangan KLB ini adalah keterlambatan pelaporan sehingga tidak dapat diperoleh sampel berupa makanan yang dicurigai, atau sampel biologis dari penderita seperti feses atau muntahan. Sampel tersebut diperlukan untuk penetapan diagnose pasti penyebab keracunan, sehingga sangat membantu dalam pencegahan terjadinya keracunan kembali.























BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Telah terjadi KLB keracunan pangan di Dusun X Desa Y dengan gejala seperti penyakit keracunan pangan: diare, mual, muntah, yang terjadi pada bulan Juli 2009
2. Penyebab keracunan diduga kuat adalah bakteri jenis E. coli dengan kemungkinan lain yaitu Salmonella, dengan sumber penularan adalah makanan selamatan yang dibagikan pada tanggal 10 Juli 2009 sore hari di wilayah Rt 2 RW 10 Dusun X Desa Y, terutama adalah jenis makanan yaitu gudangan.
3. 34 kasus (100%) beralamat di wilayah RW yang sama yaitu RW 10, penderita perempuan (52,9%) lebih banyak daripada laki-laki, rata-rata umur kasus yaitu 40,18 tahun, sebagian besar kasus bekerja sebagai petani (55,9%).
4. Hampir seluruh kasus terjadi pada hari Sabtu, tanggal 11 Juli 2009, dengan kurva epidemik menunjukkan bahwa perkiraan terjadi waktu pertama paparan dengan penyebab keracunan antara pukul 14 hingga pukul 16 tanggal 10 Juli 2009, dan tipe kurva adalah common source, artinya ada satu sumber penularan.
5. Angka serangan (AR) tertinggi pada jenis makanan gudangan (100%) dan telur (100%). Sedangkan OR gudangan dan telur masing-masing 280. Status sanitasi perorangan tidak berhubungan dengan kejadian keracunan.
6. Langkah – langkah yang dilakukan Puskesmas A dalam penanggulangan KLB keracunan pangan ini sudah baik antara lain dengan pelaporan ke Dinas Kesehatan kabupaten B, pemberian penyuluhan, dan pemberian kaporit.
B. Saran
1. Sebaiknya perlu peningkatan penyuluhan serta kesadaran warga agar segera melaporkan kejadian penyakit di wilayah sekitarnya, terutama yang bersifat mendadak, jumlah kasus meningkat dari biasanya.
2. Perlu segera mengambil sampel biologis dari penderita atau sumber penularan secepatnya untuk keperluan penegakan diagnosa.
3. Peningkatan penyuluhan mengenai hygiene perorangan, hygiene dalam pengelolaan makanan, serta sanitasi lingkungan.





















DAFTAR PUSTAKA

-----, 2008. Profil Kesehatan Puskesmas A Kabupaten B Tahun 2008, B : Puskesmas A

Badan Pengawas Obat dan Makanan DepKes RI, 2005. Mekanisme dan Prosedur Tetap (Protap) Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia, Jakarta : Depkes RI

Chin, James, 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular . Terjemahan : Dr. I Nyoman Kandun, MPH, Edisi 17, WHO.

02 Maret 2009

Metode NonParametrik

Kuliah yang saya ikuti pada beberapa hari terakhir ini mengenai Metode Non Parametrik. Secara garis besar, dapat dilihat dari tabel berikut.

JENIS PENGUJIAN

METODE

PARAMETRIK

NON PARAMETRIK

Perbedaan 2

mean/kelompok

data independen

Student t-tes

U Mann-Whitney, Wilcoxon Rank Sum Test,

Wald Wolfowitz Run Test, Kolmogorov-Smirnov

Two Sample Test

Perbedaan 2

mean/kelompok,

data dependen

Paired t-test

Wilcoxon Signed Rank Test, Signed Test

Perbedaan 2

proporsi

z-test

Kruskal Wallis Anova by Rank, Friedmand Test,

Perbedaan 3

atau lebih

mean/kelompok

Anava

x2 test, Fisher Exact probability Test, McNemar Test

Hubungan

Regresi dan korelasi

Contingency coefficient, Spearman Rank, Kendall tau

Macam-Macam Bias

Dalam mata kuliah Metodologi Penelitian untuk Epidemiologi, kami satu kelas mendapat tugas mempelajari macam-macam bias dalam artikel yang ditulis oleh M.Tevfik DORAK
Kami dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok supaya mempelajari, mendiskusikan lalu mempresentasikan beberapa macam bias.
Kelompok saya mendapat tugas mempelajari mengenai tiga macam bias yaitu Ascertainment Bias, Prevalence-Incidence Bias, dan Berkson Bias.

Ascertainment Bias

Disebut juga Information Bias. Dalam sumber lain juga disebut sebagai bias kepastian
Merupakan penyimpangan dalam memperkirakan efek atau pengaruh karena kesalahan pengukuran atau kesalahan pengelompokan subyek penelitian menurut satu atau lebih variabel.
Ada dua macam yang termasuk dalam bias ini yaitu :

1. Bias Diagnostik
Terjadi bila cara mendiagnosis suatu penyakit misalnya, pada kelompok kasus dan kelompok kontrol tidak proporsional. Misalnya dalam penelitian yang membandingkan kelompok kasus yang menderita kanker paru dan kelompok kontrol yang tidak menderita kanker paru. Diagnosis kanker paru harus dilakukan secara sama pada dua kelompok tersebut. Caranya, pengukuran gejalanya, atau pemeriksaan laboratoriumnya harus sama untuk kedua kelompok tersebut. Sehingga akan diperoleh, kelompok yang positif menderita kanker paru sebagai kelompok kasus, dan kelompok yang dinyatakan negatif dari hasil diagnosis, sebagai kelompok kontrol.
Salah satu solusi untuk menghindari bias ini yaitu dengan sistem blinding, dilakukan pengujian dengan tidak memberi tahu subyek penelitian mereka masuk kelompok yang mana terleih dahulu.

2. Bias pemanggilan kembali (recall bias
Bias ini terjadi jika informasi mengenai variabel paparan tidak diketahui atau tidak akurat. Jika informasi pernah mengalami paparan atau tidak hanya berdasar data sekunder saja, atau dengan mengingat kembali, akan banyak menimbulkan bias dalam jumlah maupun ketepatan.
Cara menghindari bias ini yaitu dengan taat pada protokol yang telah dibuat, melakukan standar dengan sistem blinding, dan catatan - catatan tambahan jika diperlukan.

Prevalence-Incidence Bias

18 Februari 2009

Tugas Manajemen Program Pengendalian Penyakti yang saya buat

Berikut ini adalah jawaban saya terhadap tugas kuliah Manajemen Kesehatan, mengenai penyusunan Program Pengendalian Penyakit Prioritas (yang saya pilih adalah DBD). Karena belum tahu nilainya, dan saya juga masih dalam proses belajar, saya membuka komentar, saran masukan atau koreksi yang membangun dari Anda. Terimakasih sebelumnya.


Perencanaan

Analisa masalah

Pertama kali yang akan saya lakukan adalah analisis situasi masalah penyakit tersebut, yang saya pilih adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).

Pengumpulan data awal meliputi :

  1. Besar masalah yang diketahui dari angka kesakitan dan kematian (IR dan CFR)
  2. Trend / kecenderungan atau pola kasus selama beberapa tahun terakhir
  3. Tingkat endemisitas
  4. Data – data hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, termasuk mengenai trend kasus DBD, pola siklus lima tahunan, musim, kepadatan vektor, dan penelitian pengembangan sejenis
  5. Pola spasial atau karakteristik geografik daerah kasus atau daerah endemis
  6. Hasil – hasil surveilan yang telah berhasil dilaksanakan sebelumnya
  7. Respond, tanggapan serta harapan masyarakat mengenai program / kegiatan yang telah atau sedang berjalan hubungannya dengan kasus – kasus DBD.
  8. Data – data pendukung seperti data kependudukan, data sosial budaya, data kesehatan secara umum

Langkah berikutnya adalah inventarisasi input selain data dan informasi pendahuluan, juga diinventarisasi input yang berupa man (sumber daya manusia meliputi petugas kesehatan, kader masyarakat), money (ketersediaan biaya, kebutuhan biaya sebelumnya), material (bahan dan peralatan, misalnya untuk survey jentik/larva, pemeriksaan darah penderita, alat dan form surveilan), method (cara yang telah dilakukan atau kegiatan yang telah dilakukan dalam pengendalian DBD, atau dalam pengendalian vektor DBD). Keseluruhannya dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas. Termasuk juga ada tidaknya dan bagaimana dukungan dari berbagai sektor dan pihak terkait, terutama pemerintah setempat (kaitannya dengan pembiayaan program)

Pembuatan keputusan

Berdasarkan analisa masalah yang telah dilakukan, dilakukan hal – hal sebagai berikut :

1. Menetapkan Visi dan Misi

Visi : Menurunkan angka insidensi dan angka kematian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Misi : Menurunkan angka insidensi dan angka kematian penyakit DBD melalui program dan surveilan terpadu dan menyeluruh secara sistematis, menekankan pada kerjasama lintas sektor dan lintas program, serta menjaring kemitraan yang kuat

2. Menetapkan Tujuan

Tujuan Umum : Menurunkan angka insidensi dan angka kematian DBD sesuai standar nasional

Tujuan Khusus :

  1. Menurunkan angka insidensi DBD dari x menjadi 20 per 100.000 (tingkat endemisitas rendah = target nasional)
  2. Menurunkan angka kematian DBD dari x menjadi <>

3. Mengembangkan Strategi


Strategi yang digunakan ditekankan pada kerjasama lintas sektor dan lintas program dalam jejaring kemitraan yang kuat secara periodik dan terus menerus (terjadwal) dalam waktu yang bersamaan, meningkatkan peranserta dan keswadayaan masyarakat dalam mendukung program, dalam suatu sistem surveilan yang efisien, efektif dan efikasius, dengan mempertimbangkan faktor – faktor perjalanan alamiah penyakit DBD serta aspek epidemiologis dan lingkungan terpadu.


4. Membuat Program, Anggaran, Protap/Juklak (SOP), serta kebijakan yang diperlukan

Pencegahan Primer







Deteksi Kasus

Resiko Tinggi

Surveyor jentik dan nyamuk vektor bekerjasama dengan masyarakat (kader jumantik)

Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kab/Kota

Terutama daerah endemis dan potensial DBD

Daerah endemis : setiap pekan;

Daerah potensial : setiap bulan

1. Survei Jentik

Pelaksanaan survei jentik sesuai Standard Operating Procedure (SOP), (sudah termasuk di dalamnya data jenis dan jumlah kontainer, penampungan atau genangan air yang lain

2. Survei Lingkungan

Survei tempat perkembangbiakan potensial bagi vektor (breeding place), Survei tempat - tempatkarakteristik alam dan geografik

3. Survei Perilaku Masyarakat bentuk rumah/pemukiman, kepadatan penduduk dan data sosial demografi yang mendukung), melibatkan seluruh aspek masyarakat, hingga tingkat keluarga yang terkecil, khususnya Ibu, termasuk juga sekolah - sekolah dan fasilitas umum (Tempat – Tempat Umum yang beresiko) dan pemerintah

Bahan: ATK dan form pencatatan

Alat: Peralatan survei jentik sederhana, alat komunikasi cepat, GPS, Peta

Biaya:…..

(Kerjasama pemerintah dan masyarakat)

Pelaporan

Surveyor dan masyarakat

Tempat pelayanan kesehatan terkait, tempat tokoh masyarakat, saat perkumpulan warga

Daerah endemis : setiap pekan;

Daerah potensial : setiap bulan

1. Di tempat pelayanan kesehatan atau pos yang telah disediakan, dicatat hasil survey jentik

2. Di masyarakat dicatat dalam buku laporan rapat PKK atau Dasawisma, atau pertemuan warga rutin

3. Berdasarkan laporan dan catatan petugas atau masyarakat disamakan persepsinya, lalu dilaporkan ke level organisasi pemerintah bidang kesehatan di atasnya

Bahan: ATK dan form pencatatan

Alat: Alat komunikasi

Biaya:…

(Kerjasama pemerintah dan masyarakat)

Analisis dan Interpretasi

Petugas surveilan, bidang pengendalian penyakit, petugas analis angka – angka survey jentik yang ahli di bidangnya

Pos atau kantor

· Tiap akhir bulan berjalan

· Tiap saat data selalu di-update dan dikonfirmasi agar selalu sama angkanya berdasar sumber asalnya

· Analisis dan interpretasi global dilakukan tiap enam bulan sekali

1. Data selalu di – update dan harus selalu sama dengan sumber asalnya (bentuk form sama dan saat pengisian maupun pembacaan isi form harus sama persepsinya antar petugas)

2. Penghitungan distribusi frekuensi (%), Angka Bebas Jentik (ABJ), House Index (HI), Container Index (CI), Breteau Index (BI), dan jika perlu dapat ditambahkan Pupae Index/Maya Index, dilanjutkan interpretasi data

3. Analisis spasial dan karakteristik geografik yang mendukung atau berpengaruh juga terhadap faktor resiko

Bahan:data yang dianalisis, ATK, form pencatatan

Alat:alat analisis, alat hitung, computer, buku panduan/statistik

Biaya :….

Respons Segera

Petugas kesehatan, bidang pengendalian penyakit

Menyesuaikan

Segera setelah analisis data selesai dilakukan

Evaluasi dan re - alokasi sumber daya (tenaga kesehatan lingkungan, biaya), penyuluhan/sosialisasi, bimbingan teknis, abatisasi, kerjabakti PSN bersama – sama, termasuk di lingkungan sekolah dan tempat – tempat umum

Bahan: Sumber daya yang dibutuhkan

Alat:Peralatan yang dibutuhkan

Biaya:…

Respons Terencana

Petugas kesehatan, bidang pengendalian penyakit

Menyesuaikan

Secara rutin dilakukan, sesuai jadwal yang telah dibuat

Evaluasi dan alokasi sumber daya (tenaga kesehatan lingkungan, biaya), penyuluhan/sosialisasi diikuti evaluasi efektivitas penyuluhan melalui pre – pos test, bimbingan teknis, penyusunan protap/juklak baru, kegiatan menghilangkan sumber nyamuk/tempat perkembangbiakan nyamuk secara bersama – sama, modifikasi lingkungan melibatkan sektor terkait, menjaring kemitraan

Bahan:Sumber daya yang dibutuhkan

Alat:Peralatan yang dibutuhkan

Biaya:…

Umpan Balik

Petugas kesehatan, bidang pengendalian penyakit

Daerah endemis dan daerah potensial

Segera, bersamaan dengan respon cepat/segera

Penyampaian informasi mengenai hasil interpretasinya kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat yang beragam, mengenai intervensi / respon yang telah dilakukan, serta perlunya dukungan masyarakat dari berbagai pihak. Hasil interpretasi yang disampaikan dan disosialisasikan kepada masyarakat berupa informasi lisan langsung atau melalui leaflet/brosur, mengenai rumah – rumah atau jumlah rumah yang terdapat jentk berdasar survei, sehingga tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah membersihkan lingkungan dan rumah tersebut.

Bahan:data dan interpretasinya

Alat:Alat komunikasi langsung

Biaya:…


Pencegahan Tersier

Fungsi Pokok

Pelaksana

Tempat

Waktu

Cara

Sumber Daya

Deteksi dan Registrasi Kasus klinik

Tenaga medis baik pemerintah maupun swasta, Dinkes Kab/kota

Terutama daerah endemis dan potensial DBD

Daerah endemis : setiap ada penderita dengan gejala demam;

Daerah potensial : setiap bulan

Pencatatan identitas penderita

Pengambilan sampel darah

Pencatatan gejala klinis

Bahan:Form pencatatan

Alat:Kit pengambilan sampel darah

Biaya:…

Konfirmasi

Tenaga analis laboratorium

Laboratorium, balai litbangkes

Segera setelah sampel darah didapatkan

Menggunakan Standard Operating Procedure pemeriksaan sampel darah penderita DBD, serologi (trombosit) dan jika diperlukan adalah virologi, melibatkan kerjasama dengan pihak lain, laboraorium rujukan pemerintah pusat

Bahan:bahan pemeriksaan sampel darah DBD

Alat: alat pemeriksaan sampel darah DBD

Biaya:…

Pelaporan

Petugas kesehatan, bidang pengendalian penyakit, tenaga medis, dan tenaga analis laboratorium

Kantor dinas,

pos kesehatan

Segera setelah sampel darah didapatkan dikonfirmasi, dan dicatat lagi hasil lab-nya

Menggunakan form pelaporan yang telah disediakan dan disusun sesuai kebutuhan

Bahan:form pelaporan

Alat:ATK, komunikasi cepat

Biaya :…

Analisis dan Interpretasi

Petugas kesehatan/medis

Kantor dinas, pos kesehatan, laboratorium

Setelah sampel darah dikonfirmasi, dan dicatat lagi hasil lab

Membandingkan dengan standar pemeriksaan yang ada, menggunakan uji statistik terkait, disesuaikan jenis data dan jenis / desain penelitian

Bahan:form dan data

Alat:ATK, computer

Biaya:…

Respons Segera

Petugas kesehatan, medis

Tempat pelayanan kesehatan

Segera setelah hasil lab diketahui

Penatalaksanaan penderita yang positif DBD sesuai SOP baik di pelayanan kesehatan perorangan maupun masyarakat

Bahan:Obat dan bahan medis lainnya, menu diet sesuai

Alat:Alat medis

Biaya:…

Respons Terencana

Petugas kesehatan, medis

Tempat pelayanan kesehatan

Segera setelah hasil lab diketahui

Penatalaksanaan penderita yang positif DBD sesuai SOP baik pelayanan kesehatan perorangan maupun masyarakat

Bahan:Obat dan bahan medis lainnya, menu diet sesuai

Alat:Alat medis

Biaya:…

Umpan Balik

Petugas kesehatan, medis, bidang pengedalian penyakit

Tempat pelayanan kesehatan, daerah endemis di masyarakat

Segera setelah hasil lab diketahui

Penyampaian informasi, sosialisasi DBD, komunikasi masyarakat, dalam bentuk leaflet/brosur

Bahan:

Alat:

Biaya:

Keterangan jelasnya sebagai berikut :

a)Berhubungan dengan host

· Kegiatan penyuluhan kesehatan terutama mengenai DBD, sosialisasi ke masyarakat, hingga ke tingkat keluarga. Indikator keberhasilan yang ingin dicapai berupa peningkatan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku masyarakat berhubungan dengan DBD

· Sosialisasi penerapan ilmu penelitian dan pengembangan terbaru mengenai DBD, termasuk tata laksana penderita kepada seluruh petugas kesehatan, peningkatan kualitas tenaga kesehatan. Indikatornya berupa peningkatan pengetahuan dan kualitas tenaga / petugas kesehatan terkait masalah DBD

· Sosialisasi dan advokasi ke jajaran pemerintah

· Penggerakan dan penggiatan kegiatan pemberantasan vektor (nyamuk) DBD dan pemutusan rantai penularan dengan membersihkan atau menghilangkan tempat perkembangbiakan vektor tersebut, yang melibatkan tidak hanya petugas kesehatan dan masyarakat tapi juga tokoh – tokoh masyarakat dan jajaran pemerintahan.

· Peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sektor serta kemitraan dengan pihak lain.

· Peningkatan perilaku perseorangan, misalnya penggunaan repellent (obat oles anti nyamuk), pakaian panjang, mengurangi atau menghilangkan baju – baju yang banyak tergantung.

b) Berhubungan dengan environment

· Kegiatan pengendalian vektor serta pemutusan rantai penularan DBD dengan membersihkan atau menghilangkan tempat perkembangbiakan vektor.

· Survei jantik berkala yang melibatkan masyarakat secara langsung. Indikator keberhasilan berupa ABJ (Angka Bebas Jentik) didukung data HI (House Index), (Container Index) dan BI (Breteau Index), PI (Pupae Index

· Abatisasi / pemakaian larvasida

· Fogging

· Modifikasi lingkungan untuk menghilangkan tempat perkembangbiakan vektor, misalnya pengaturan bentuk rumah, tempat persediaan air, sumber air, pengaturan kandang, tempat rimbun, dan semacamnya yang dapat menjadi tempat yang disukai nyamuk vektor.

Hal yang perlu diperhatikan:

1) Penetapan urutan prioritas kegiatan, disesuaikan dengan efektivitas dan efisiensi kegiatan tersebut

Prioritas kegiatan perlu disusun sedemikian rupa disesuaikan anggaran atau alokasi biaya yang ditetapkan atau yang tersedia, sehingga kegiatan dapat berjalan tanpa harus menyimpang dari tujuan yang diharapkan yaitu tercapainya keberhasilan program sesuai indikator – indikator yang telah ditetapkan.

2) Penyusunan jadwal dan anggaran kegiatan

Jadwal kegiatan perlu disusun agar pelaksanaan kegiatan berjalan tepat waktu dan dapat diukur keberhasilannya dengan lebih mudah. Di samping itu, penyusunan jadwal sangat dibutuhkan dalam evaluasi dan monitoring kegiatan dalam program yang dilaksanakan. Hal ini juga bisa dijadikan indikator pendukung terhadap tercapainya keberhasilan program.

Pengorganisasian

  1. Penyusunan struktur, bidang – bidang kerja, pembagian tugas dan pekerjaan yang jelas, serta hubungan kerja yang jelas.
  2. Penetapan kualifikasi keahlian yang dibutuhkan untuk setiap pekerjaan atau bidang pekerjaan

Pemilihan dan Penetapan staf

  1. Mengadakan perekrutan atau seleksi pegawai sesuai dengan kualifikasi keahlian yang dibutuhkan.

Mengajukan usulan pengadaan pegawai, atau perekrutan pegawai baru dengan kualifikasi :

· Surveilan epidemiologi

· Manajemen kesehatan

· Entomologi

· Administrasi

· Tenaga medis (dokter, perawat)

· Analis kesehatan/laboratorium

· Non medis pendukung (Ahli gizi)

· GIS

· Manajemen lingkungan

· Sanitasi dan tenaga kesehatan lingkungan

· Antropologi

· Komunikasi dan psikologi masyarakat

Penyelenggaraan tes tertulis dan wawancara untuk mengetahui kompetensi calon pegawai

Pembinaan dan Pengarahan

Setelah struktur dan organisasi berikut pembagian tugas dan hubungan kerja tersusun baik, dan dilanjutkan perekrutan pegawai, dalam organisasi tersebut diperlukan Pembinaan dan Pengarahan sekaligus peningkatan motivasi dan kompetensi yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan kepuasan masyarakat sebagai pelanggan / konsumen, hingga akhirnya dapat tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.

Di sini dilaksanakan pelatihan sesuai bidang keilmuan, keahlian, dan ketrampilan yang dibutuhkan, peningkatan kinerja dan produktivitas pegawai atau petugas kesehatan, refreshing, keakraban antar pegawai, pelatihan Learning Organization, Outbond, peningkatan spiritual dalam bekerja misalnya melalui Pelatihan ESQ, penyamaan persepsi terhadap visi, misi, tujuan, strategi dan pelaksanaan program/kegiatan organisasi.

Pengendalian dan pengawasan

1) Penyusunan evaluasi dan monitoring kegiatan

Kegiatan evaluasi dan monitoring perlu dilakukan secara terus menerus mulai dari tahap perencanaan hingga terlaksanaya kegiatan, bahkan hingga seterusnya, agar sewaktu – waktu jika terjadi peningkatan kasus dapat segera diketahui penyebabnya dan secepatnya ditanggulangi, atau bahkan dapat dicegah sedini mungkin.

Evaluasi meliputi kesesuaian terhadap protap yang telah dibuat. Jika tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan protap, dievaluasi lagi apakah memenuhi perkecualian. Jika ternyata tidak memnuhi perkecualian, berarti telah terjadi penyimpangan. Lalu ditelaah lagi, apakah penyimpangan tersebut beralasan atau tidak. Dalam tahap ini dilakukan telaah kritis, berdasarkan konsep keilmuan terkait, dan penapisan teknologi (yang merupakan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan). Jika ternyata tetap tidak beralasan, berarti telah terjadi Defisiensi atau kekurangan atau keterbatasan, sehingga perlu dicari akar penyebabnya. Selanjutnya dikoreksi, ditambah hasil penelitian baru, inovasi, yang bersifat meningkatkan motivasi dan inspiratif. Hasil koreksi dapat diuji lagi telah memenuhi protap atau tidak. Dan seterusnya.

2) Penetapan keberhasilan program

Keberhasilan program dapat diketahui dari indikator yang telah ditetapkan, tidak hanya persentase cakupan, misalnya, tetapi juga tepat waktu atau tidak, dan dilihat dari manfaatnya terhadap impact, ada atau tidak (efikasius atau tidak),apakah hal – hal tersebut telah dapat dicapai, dan seberapa jauh tingkat keberhasilan yang telah dicapai tersebut.

3) Pemberian sangsi atau penghargaan

Terkait dengan sangsi ataupun penghargaan adalah mengenai tingkat keberhasilan program yang telah dicapai. Hal ini juga dapat dijadikan motivasi dalam penyelenggaraan program, atau juga dapat dipakai sebagai bahan perencanaan selanjutnya.